Tuesday, May 09, 2006
FIFA: "For the Death of the Game" Part I

Kuno-nya Sepakbola Modern a la FIFA

Para komentator di televisi, jurnalis, petinggi klub dan pimpinan organisasi sepakbola dunia selalu menyebutkan bahwa sekarang adalah zamannya sepakbola modern. Terus terang saya tidak bisa melihat, dari sisi sebelah mana bisa dikatakan bahwa sepakbola sekarang sudah modern.
Dari sisi skill pemainkah? Tidak. Kalau skill pemain sekarang sudah lebih baik dari pada zaman dulu, orang tidak akan menganggap Pele, Eusebio, Di Stefano dan lain-lain sebagai pemain terbaik sepanjang masa.
Strategi dan formasi? Hmmm, saya tidak yakin. Tidak ada formasi yang benar-benar terbaik dalam dunia sepakbola. Yang ada hanya formasi yang cocok dan fleksibel. Itu pun bukan berarti bahwa formasi tersebut akan selalu cocok dalam tiap pertandingan dan selalu menang. Tergantung pada waktu pertandingan, lokasi, tipe pemain yang diturunkan, kebugaran fisik dan mental pemain, formasi lawan dan banyak sekali faktor lainnya. Total Football-nya Belanda yang sering dianggap sebagai salah satu strategi modern, tidak pernah menjadikan Tim Oranye sebagai juara dunia.
Sejumlah aturan baru tentang backpass, akumulasi kartu, 3 poin untuk kemenangan dan lain-lain memang membuat pertandingan menjadi lebih enak ditonton, tetapi saya kira tidak membuat sepakbola menjadi lebih modern.
Sepakbola zaman sekarang masih sama kunonya dengan zaman dulu. Tidak ada teknologi baru yang digunakan untuk mengatasi segala permasalahan yang selalu muncul dalam tiap pertandingan. Segala kecurangan seperti tackling kasar, diving, handball sering luput dari pengamatan wasit. Dan tidak ada aturan yang baku mengenai sebuah hukuman untuk suatu pelanggaran. Pada suatu kesempatan, seorang pemain dikenai kartu kuning karena men-tackle dari belakang penyerang lawan yang sedang solo run ke kotak penalty, tapi pada kesempatan lain, pemain yang melakukan hal serupa malah terkena kartu merah.

"We are anxious television doesn't take over the game by controlling the referee," said Sepp Blatter, then FIFA's general secretary and now its president. "Football is composed of human beings, human frailties, mistakes and errors. We have to live with that."

http://www.s-t.com/daily/06-99/06-02-99/d04sp179.htm

Kurang lebih Sepp Blatter mengatakan bahwa penggunaan teknologi televisi dalam menerapkan aturan saat pertandingan berlangsung akan merusak integritas dan wibawa wasit di lapangan. Sepakbola itu manusiawi, segala kesalahan bisa terjadi dan itu harus kita maklumi.
Huahahaha...Saya kira Sepp Blatter itu buta. Wibawa wasit sepakbola itu memang sudah hancur sampai ke titik yang terendah. Setiap kali seorang wasit meniup peluit saat terjadi pelanggaran, selalu saja ada segerombol pemain yang protes. Ada saja pemain yang melecehkan wasit seperti Wayne Rooney dan Paolo Di Canio. Dan itu terjadi justru karena ketidakmampuan wasit untuk melihat semua pelanggaran yang terjadi.
Hal-hal seperti ini hampir tak mungkin terjadi di pertandingan bola basket dan tenis. Memang terkadang ada protes, tapi tidak pada tiap pertandingan, dan tidak sepanjang pertandingan.
Dan kalau kita harus memaklumi adanya pelanggaran dan kesalahan dalam pertandingan sepakbola, ya udah, ga usah pake wasit aja sekalian.
posted by Nando @ 2:54 PM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
About Me


Name: Nando
Home: Ps. Minggu, Jakarta, Indonesia
About Me: * a family man trying to survive
See my complete profile

Special Post
Previous Post
Archives
News
Organizations
The Elites of Europe
Latest Challengers of Europe
Links
Affiliates
Yahoo!Group

Powered by Blogger

15n41n1